Tradisi Leluhur Asmat terancam Pupus, Tokoh Kunci Penyelenggara Dianiaya

Berita, Daerah, Papua638 Dilihat
banner 468x60

Papua, suaramahardika.id – Festival Asmat Pokman (FAP), ajang kebudayaan yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Asmat. Tahun 2025 ini berada di ujung tanduk. Harapan besar untuk melestarikan seni, ukiran, dan tradisi leluhur Asmat terancam pupus setelah dua tokoh kunci penyelenggara mengalami penganiayaan di Kampung Youw, Distrik Bets Bamu, pada 16 Agustus 2025.

Korban adalah John Ohoiwirin, Ketua Komisi Kebudayaan Keuskupan Agats sekaligus Direktur Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, yang juga menjadi Ketua Tim Seleksi Festival Asmat Pokman. Bersamanya, Pastor Lucky Legasando, Ketua Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agats sekaligus anggota tim seleksi, juga ikut dianiaya.

banner 336x280

Mereka diserang oleh sekelompok warga dari Kampung Warkai sebelum proses seleksi dimulai. Serangan itu meninggalkan luka fisik maupun batin. John mengalami luka di kepala dan memar di tubuh akibat hantaman benda tumpul. Pastor Lucky bahkan harus menerima kenyataan pahit dengan patah tulang hidung.

Keduanya sempat mendapat perawatan di RSUD Perpetua J. Safanpo, Agats, sebelum akhirnya dirujuk ke Timika untuk perawatan lanjutan. Meski kondisi medis ditangani, trauma mendalam masih menyelimuti korban dan keluarga.

Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, John menceritakan kembali detik-detik mencekam itu.

“Untung saja ada Pastor Lucky dan dua dewan gereja yang langsung melindungi saya. Waktu itu saya sudah lemas,” katanya lirih.

Lebih jauh, John mengungkapkan kepedihan batinnya.

“Saya sudah lebih dari 20 tahun bekerja untuk Asmat dan kebudayaan ini, dan sekarang saya mengalami ini. Saya juga trauma. Saya ikhlas untuk tanah ini, dan saya percaya leluhur Asmat tahu itu. Untuk sekadar mendapat untung, saya memilih untuk tidak ikut menjaga, merawat, dan melestarikan budaya ini karena ada pekerjaan lain yang cukup menjanjikan. Namun saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan Budaya ini,” ungkapnya dengan penuh haru.

Seleksi Festival Asmat Pokman sejatinya sudah berjalan pada beberapa titik seleksi, seperti di Bayun Krongkel, Primapun dan Basim Fait. Namun akibat peristiwa penganiayaan ini, sejumlah titik lain di Asmat tertunda. Waktu pelaksanaan semakin dekat, namun ketidakpastian makin terasa.

Kekerasan ini tidak hanya melukai tubuh dua tim seleksi, keluarga maupun pihak Keuskupan Agats tetapi juga melukai harapan seluruh masyarakat Asmat yang mendambakan ruang untuk menampilkan karya dan menjaga jati diri mereka melalui Festival Pokman. Apa yang terjadi menjadi tamparan keras bahwa merawat budaya membutuhkan keberanian menghadapi tantangan bahkan dari dalam rumah sendiri.

Kini, Asmat menunggu. Apakah Festival Pokman akan tetap berjalan, atau trauma dan kekerasan ini akan memadamkan api semangat yang telah dijaga turun-temurun? (G-Red)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *